Ketika Bahtera Itu Retak
Hening sejenak saat kupandang wajah mungil di pangkuanku. Tidak pernah kuduga sesingkat ini cerita cintaku.
Tiga tahun di awal pernikahanku semua berlangsung baik-baik saja, setiap hari kami selalu saling berbagi cerita tatkala malam menjelang tidur. Cerita tentang kehidupan sehari-hari dan rutinitas masing-masing. Tiada yang istimewa semua biasa saja.
Namun tepat diulang tahun pernikahan kami yang ke tiga, tiba-tiba saja bak halilintar di siang hari Ibu mertuaku berkata dengan nada sinis:" Hmmm selamat ya nak, tidak terasa sudah 3 tahun kalian menikah'namun rumah ini begitu sunyi sepi tanpa canda tawa seorang anak" , sambil berlalu. Aku duduk terdiam, kupandang wajah suamiku untuk mendapat jawaban yang bisa menenangkan hati. Tidak, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya juga tidak ada senyum. Semua datar saja.
Aku kecewa dan untuk pertama kalinya malam itu sepi tanpa canda, hingga keesokan harinya dia berkata "Izinlah untuk tidak bekerja hari ini!" tanpa ekspresi. Aku menoleh dan heran,"Mengapa tiba-tiba?, tanyaku tidak ada jawaban, dan dengan cepat dia meraih tanganku. Meskipun hati ini enggan mengikutinya kaki ini melangkah dengan sedikit terseok. Sepanjang perjalanan kami diam seribu bahasa, namun hal itu tidak lama karena rasa penasaran saya memulai melontarkan pertanyaan. "Mas, ada apa?, hari perlakuanmu terhadapku tidak selembut biasanya!" Tetapi ya Allah sakit rasanya hati ini dia tidak berkata apa-apa. Diam dan tetap fokus menyetir. Saya mengulang pertanyaan yang sama.
Mungkin dia merasa jengkel dengan rasa ingin tahuku. Diapun akhirnya menjawab dengan nada sinis: "Kawan-kawan di kantor sering melontarkan pertanyaan yang sama dengan Ibu"."Mungkin mereka benar kamu mandul, buktinya tiga tahun sudah kita menikah dan belum dikaruniai seorang anak", jelasnya. Saya memilih untuk diam agar situasi tidak semakin memanas, saya takut untuk menimpali karena wataknya yang keras.
Tidak lama kemudian kamipun sampai di rumah sakit Ibu dan Anak di bagian kandungan.Setelah selesai pemeriksaan,dokter membacakan hasilnya. Syukurlah diagnosa dari hasil uji kesuburan, saya normal. Lantas dimana masalahnya? Akhirnya dokter berkata."Ada baiknya bapak juga menjalai pemeriksaan" Suamiku menimpali dengan sedikit ketus.”Untuk apa ? Saya sehat saja dok, tidak merasa ada yang kurang” sambil menoleh sinis padaku. Saya hanya dapat menahan rasa kesal dan sedih. Kamipun pulang dan segalanya berlalu hari demi hari sepi sampai kemudian hari yang kami tunggupun tiba.
Kabar bahagia itu datang, Kami akan segera dikaruniai momongan. Diawal
kehamilan keadaan membaik kembali hingga
junior lahir, semua merasa bahagia juga ibu mertua mulai menyukaiku dan
menyayangi kami berdua.
Tepat diulang tahun kedua anakku
, dia ‘suamiku’ pulang bekerja ditemani oleh seorang wanita, dengan tenang saya
berusaha untuk menahan rasa terkejut dan cemburu, bagaimana tidak dia
memperlakukannya begitu lembut. Sama halnya saat kami pertama kali bertemu. Karena londisi saat itu banyak tamu tentunya
saya harus menjaga sikap, meskipun kakakku membisikkan kata “hati-hati, dek”.
Sejak saat itu mulailah tampak
perubahan sikapnya, apalagi ibunya mendukung perilaku bejatnya. Tetanggapun
sering menyampaikan kata “hati-hati” pada yang jujur saya tidak paham atau
mengerti maksud dari kata-kata tersebut, Hingga suatu saat seorang tetangga
menelponku dan mengatakan “ Dek, pulanglah junior demam tinggi” tanpa piker panjang
kuambil tasku lantas berpamitan ke pimpinanku.
Segera setelah sampai di rumah betapa terkejutnya aku melihat
sesuatu yang tak pantas terjadi di atas ranjangku. Dan tiba-tiba semua menjadi
gelap.
Sejak kejadian itu emosikupun sudah tidak terbendung lagi, saya pamit dan meninggalkan rumah dengan membawa juniorku. Saya berharap dengan kejadian ini dia akan menjemput kami dan mengakui kesalahannya. Ternyata harapanku salah, justru dia menyetujui perpisahan dengan alasan dia sudah terlanjur mencintai wanita itu. Sekuat hati saya menyetujuinya tanpa berpikir akibatnya bagi junior. Karena saat itu usianya masih balita.
Saya tersadar akibat dari perpisahan
ini saat junior berulang tahun ke 3, sesuai usianya tentulah ketika di bertanya
:” Ma, kenapa aku tidak punya papa, seperti kakak? Sambil menunjuk sepupunya
yang sedang bercanda dengan ayahnya, dengan ekspresi wajah yang begitu sedih
dan terluka. Saya berusaha menghibunrnya dengan mendekap erat dalam pelukanku.
Tangiskupun pecah. ‘Ya Allah, apa yang telah hambamu lakukan dengan menurutkan
egoku, telah kukorbankan jiwa anakku”
Ya, sekilas kisah sedih ini,
siapapun yang sempat membaca, saya berharap perempuan kaum ibu janganlah
menurutkan emosi dan egois, meskipun anak masih kecil namun kenyataannya mereka
mempunyai perasaan.
Bangunlah istana cintamu dengan
ikhlas dan iman sebagai tiangnya.
Comments
Post a Comment